JEBOLAN SASTRA Berpotensi Menjadi Penerapi Bahasa ( ILMU
KESEHATAN )
Rambut gondrong dan berbusana nyeleneh mungkin tidak jauh berbeda dari
seorang sastrawan, seniman, dan budayawan. Meski sebenarnya mereka
berpendidikan, tetap saja anggapan itu mendarah daging di kalangan masyarakat.
Karena para sastrawan dan pecinta seni lainnya sering mengapresiasikan sentilan-sentilan dalam balutan karya yang diciptakan.
Tanpa basa-basi mereka melontarkan kritikan akan corat-marut zaman, di mana angkara murka ngombro-ombro (angkara
murka menjadi-jadi), akeh wong ijir, akeh
wong cethil (banyak orang kikir, banyak orang bakhil). Sing eman ora keduman (si hemat tidak mendapat bagian), sing keduman ora eman (yang mendapat
bagian tidak berhemat). Akeh wong
mbambung (banyak orang berulah dungu) dan akeh wong limbung (banyak orang limbung) (Ramalan Jayabaya).
Sejak kapan sastrawan berpenampilan nyentrik belum diketahui. Yang jelas!!
Selama kami mengikuti perkuliahan sastra tidak pernah diajarkan untuk menjadi
manusia cendekiawan yang aneh, pembangkang suatu idealis, atau pemberontak
terhadap aturan, dan sebagainya. Tetapi di dalam sastra juga terdapat ilmu dan
teori yang menjadikan sastra itu harum dan bersahaja. Ilmu dan teori yang
mengajarkan tentang falsafah pengetahuan dan lingkungan sosial kita. Ilmu dan
teori yang menyeret kita pada lembah kemanusiaan yang beradab dan berperilaku
menggunakan logika serta perasaan. Itulah ilmu sastra yang diajarkan pada kami (anak-anak
sastra).
Di dalam dunia sastra sebenarnya mencakup
dua bidang kajian, yakni bidang karya sastra atau karya kreatif dan bidang ilmu
sastra. Jika ditinjau dari segi kemunculannya, karya sastra muncul terlebih
dahulu dibandingkan ilmu sastra yang berisikan teori-teori dan penelahaan tentang
seluk-beluk sastra. Dengan kata lain, ilmu sastra muncul setelah ada karya
sastra. Kedua bidang tersebut pada hakikatnya saling berhubungan. Di mana karya
sastra dalam pengkajiannya memerlukan beberapa teori sastra yang tentunya
terdapat dalam ilmu sastra, sedangkan ilmu sastra akan menjadi gombal-gambul atau omong kosong jika
tanpa penerapan dari hasil karya sastra.
Jika kita masuk perguruan tinggi dan memilih
jurusan Sastra Indonesia, maka pada semester 5-6 akan terjadi pemecahan
konsentrasi. Di mana ilmu sastra lebih diperdalam ke bahasa untuk bidang linguistik, naskah-naskah
kuno untuk bidang filologi, dan sastra tentunya pada bidang sastra itu sendiri.
Sedangkan bidang yang berkaitan dengan judul artikel di atas tentunya bidang
yang berhubungan dengan konsentrasi saya saat ini, yakni linguistik atau
bahasa.
Secara umum, linguistik lazim diartikan
sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya.
Pakar linguistik disebut linguis (Abdul Chaer). Cabang dari linguistik
yang berkaitan dengan teori terapi bahasa adalah cabang ilmu psikolinguitik.
Psikolinguistik secara etimologi terbentuk dari kata psikologi dan linguistik,
yakni dua bidang ilmu yang berbeda dengan keragaman prosedur dan metode yang
berlainan (Abdul Chaer). Keduanya
sama-sama mengkaji bahasa sebagai objek formalnya. Namun, berbeda dengan objek
materialnya. Di mana linguistik mengkaji struktur bahasa sedangkan psikologi
mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa.
Dalam kajian psikolinguistik menguraikan
tentang bahasa dan berbahasa yang meliputi hakikat bahasa, asal-usul bahasa,
fungsi-fungsi bahasa, struktur bahasa, dan proses berbahasa. Di dalam proses
berbahasa tentunya manusia melalui pembelajaran bertahap dan bakat yang natural. Jika terjadi kendala atau
gangguan berbahasa, maka tidak lain penyebab utama berasal dari otak. Karena
aspek neurologi manusialah yang mengatur segala perilaku tersirat maupun
tersurat pada dirinya.
Pada dasarnya masa berbahasa manusia dimulai
sejak baru lahir sampai usia enam bulan pada anak yang normal dan sering
dilatih berkomunikasi oleh orang-orang di sekitarnya, terutama ibu. Jika sampai
usia menjelang dua tahun anak belum bisa menyusun beberapa kalimat dengan empat
kata, maka anak tersebut terancam agrafia, yakni gangguan kemampuan berbicara
namun tetap mengerti bahasa dengan baik.
Jika anak-anak sampai orang lanjut usia mengalami
hal tersebut, tentunya ada gangguan pada sistem saraf di otaknya. Berdasarkan penelitian
para ahli, otak memiliki fungsi dalam komunikasi berbahasa pada makhluk hidup.
Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada belahan otak (hemisfer) kiri bagi orang
yang tidak kidal (cekat tangan, right-handed).
Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya
dinamakan korteks (permukaan otak) bahasa. Gangguan berbahasa di atas dapat
meliputi proses membaca, berbicara, dan menulis.
Epilog dari artikel yang saya tulis ialah
ingin menunjukkan keseriusan ilmu sastra yang sebenarnya bisa merambah ilmu
kesehatan (psikologi; perilaku berbahasa atau proses berbahasa). Tidak hanya
dicap sebagai sastrawan yang hanya berpenampilan nyentrik dengan penghasilan yang diragukan jika belum menjadi
apa-apa. Sehingga artikel di atas dapat sedikit menghapus ilmu sastra sebagai
ilmu yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang.
*Mahasiswa Sastra Indonesia’09, 2111409005, Universitas Negeri Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for reading (^o^)