Pengakuan
Pariyem adalah sebuah novel dengan penyajian prosa lirik yang
mengungkap kehidupan seorang gadis Jawa yang bernama Pariyem, berpredikat babu. Iyem begitu pasrah
memandang hidup, namun di dalam jiwanya menyimpan kebijaksanaan hidup. Iyem, babu yang berasal dari
Wonosari, Ngayogya yang penuh wibawa itu, mampu bercerita banyak soal hidup,
soal masyarakat, soal potret sebuah keluarga bangsawan tempatnya mengabdi yang
penuh diwarnai oleh sebuah pola kultur Jawa yang tenang namun mengalir demikian
tak tertahankan.
Keluguan kultur yang nyata begitu tegar
dan lembut rasanya. Dia
bicara bagaimana konsep nrimo dalam
kultur Jawa, bagaimana keseimbangan antara dua jagad di dalam kehidupan
manusia, tentang konsep Manunggaling
Kawula Lan Gusti yang sudah dikenal sebagai ciri kultur Jawa.
3B: Bibit,Bobot dan
Bebet, nama membawa tuah bahwa asal-usul dijadikan patokan pada masa itu hingga
sekarang, seperti dah tertempel di kening, bukan semangat yang menempel
dibadan.( hal 5 )
Dalam novel Pengakuan Pariyem
karya Linus Suryadi mengandung simbol-simbol kebudayaan. Simbol-simbol
kebudayaan tersebut seperti berikut :
1.
Hal. 1-2 : Upacara Kelahiran Bayi
“Ya,
ya, Pariyem saya
Saya
lahir di atas amben bertikar
dengan
ari-ari menyertai pula
Oleh
mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya
tujuh kali pisau cukur
Bersama
telor ayam mentah, beras, uang logam
bawang
merah dan bawang putih, gula, garam
jahe
dan kencur, adik ari-ari jadi Satu
Sehabis
dibersihkan dibungkus periuk tanah
kemudian
ditanam di depan rumah
Ya,
ya, telur: lambang sifat bayi baru lahir
belum
bisa apa-apa – murni –
gulang-gulung
tergantung pada yang tua
Beras
dan dhuwit logam: lambang harap
semoga
hidup kita kecukupan
dalam
hal sandang, pangan, dan uang
Bawang
merah dan baawang putih, gula, garam
jahe
dan kencur: lambang pahit-manisnya hidup
yang
bakal berjumpa dan terasakan, agar:
jangan
terlalu sedih bila mendapat kesusahan
jangan
terlalu bergembira bila mendapat kesenangan
Dengan
upacara kecil adik ari-ari pun dikubur
di
depan pintu sebelah kanan bila bayi laki-laki
di
depan pintu sebelah kiri bila bayi perempuan
Dipanjar
diyan sampai bayi umur selapan
Apa
yang terungkap pada cuplikan di atas, menggambarkan budaya Jawa ketika lahir seorang bayi.
Tata cara dan bahan-bahan yang digunakan pun mempunyai arti dan makna
tersendiri. Seperti telur yang dilambangkan sebagai sifat bayi baru
lahir, belum bisa apa-apa. Beras
dan uang logam sebagai lambang
harap semoga hidup kita serba kecukupan dalam hal sandang, pangan dan uang.
Pada tata cara yang dilakukan inilah para orang tua menaruh harap pada anaknya,
kelak bisa menjadi orang yang berkecukupan.
2.
Hal. 2-3: adat orang
jawa setelah mempunyai bayi
-sepasaran, bahasa populernya
Maka tersedialah di tikar, di lantai, di tanah:
Jenang abang: lambang kesucian si jabang bayi
Jenang putih; lambang cahaya yang menerangi alam
Ingkung ayam: lambang keutuhan badan
awadhag telanjang
Nasi tumpeng dan gudhangan: lambang
pergaulan hidup
yang kelak memperkaya pengalaman
Jenang sumsum: lambang harap, semoga
otot bayu simbok bayi yang melahirkan pulih
segar bugar sebagai sediakala
Dan jabang bayi kian kokoh daya kekuatannya
Dalam upacara keduri di kampung
berkeliling para tetangga satu dusun
Setelah mempunyai bayi, dalam adat orang Jawa masih harus
melakukan adat, seperti saat hari kelima setelah bayi lahir yang disebut
sepasaran. Pada sepasaran digelar syukuran yang dikenal masyarakat Jawa sebagai
kenduri, yang dihadiri oleh warga satu kampung, dengan menyajikan jenang merah
sebagai lambang kesucian bayi, jenang putih sebagai lambang cahaya bayi, nasi
tumpeng dan gudhangan sebagai simbol pergaulan hidup, jenang sumsun sebagai
simbol penambah kekuatan ibu sehabis melahirkan dan kekuatan otot bayi.
3.
Hal. 23 : pariyem sadar siapa dirinya, dia terima
apa adanya, dia juga tidak pernah mengeluh akan kehidupannya, walaupun dia
seorang babu dia ikhlas, dan supaya dia sadar siapa dirinya maka dia menerapkan
konsep ngilo githoke dhewe yang
berarti selalu melihat siapa dirinya, hal itu yang membuat dia bisa ikhlas
menjalani hidup.
4.
Hal. 28 : 3M (Madeg, Mantep,
Madhep), artinya dia berdiri,
mantap dan menerima bahwa kehidupannya sebagai seorang babu.
Hidup yang prasojo saja
tak usah yang aeng-aeng
Madeg, Mantep, dan Madhep
Dan saya sudah 3M sebagai babu, kok
5.
Hal. 28 : 3A ( Asih, Asah dan Asuh ), bahwa bukan ketakutan
atau keberanian yang mengantarkan kita berjalan tapi kemauan dan kebulatan hati
yang membuat kita bangun dan bangkit,dan bukan kemenangan dan gagah-gagahan
yang mengundang untuk bertandang tapi maaf dan rasa kasih sayang yang
melestarikan hubungan.
Asih, Asah, dan Asuh
Dan saya sudah 3A aebagai babu, kok
...
Dan saya resapkan ke dalam sanubari
sebagai susu ibu meresap ke tubuh bayi
Bukan ketakutan atau keberanian
Bukan ketakutan atau keberanian
yang mengantarkan kita berjalan
Tapi kemauan dan kebulatan hati
yang melambari kebangunan diri
Bukan kemenangan dan gagah-gagahan
yang mengundang kita bertandag
Tapi permaafan dan kasih sayang
yang melestarikan perhubungan
6.
Hal. 31 : 3
K ( karsa, kerja, karya)
keinginan untuk bekerja
dan memperoleh hasil dari apa yang dikerjakan. Itulah konsep yang ditanamkan
oleh Pariyem.
Karsa, Kerja, dan Karya
Dan saya sudah 3K sebagai babu, kok
Saya siap menyambut berkah kerja
sebagai ibadah harian hidup saya
...
Ya, ya, pada mulanya adalah karsa:
...
Tanpa karsa, kerja bakalan percuma
tanpa kerja, karya hanya cita-cita
antara karsa sampai pada karya
kerja memanggil jam-jam tersedia
7.
Hal. 33 : 3L
(lirih, laras, lurus),
lirih artinya dia tidak
pernah mengeluh akan pekerjaannya sebagai babu, Laras artinya sesuai dengan
irama maksudnya dia menikmati apa yang telah dia jalani selama ini. Lurus
artinya dia tidak neko-neko apa
adanya.
Lirih, Laras, dan
Lurus
Dan saya sudah
3L sebagai babu, kok
saya ngomong
tak pernah berteriak
lirih, tapi
terang kesampaian
sanggup
menguak tabir lenggang
dan menyibak
bising percakapan
Saya ngomong
tak pernah gadhog laras, tapi penuh irama khas
Medhok – kata
wong Tanah Sebrang
yang pinternya
bicara Jawa ngoko
Dan saya
mangap tak pernah mencong, lho
lurus,
bagaikan jalur jalan Malioboro
8.
Hal. 34 : 3T ( Titis, Tatas dan Tetes
), sebagai orang muda
harus titis dalam mengungkap
makna pembicaraan, tatas dalam perkerjaan yang dilakukan dan teteslah buah budi
yang diwujudkan mengandung semua kebijaksanaan hidup.
9.
Hal. 49 : konsep orang jawa wani ngalah luhur wekasanipun artinya berani mengalah pada akhirnya
ialah yang dianggap sebagai orang yang berjiwa luhur.
“Wani ngalah luhur weksanipun”
-itulah
wejangannya
10. Hal.
66 : pakaian adat jawa bebed sido
mukti dan surjan lurik, lengkap blangkonnya gaya ngayogya, timangnya gemerlap,
jamnya berantai, dengan keris semar mesem tersandang di punggung miring ke kiri
dan selop mengkilat warnanya.
-itulah
wejangannya
11. Hal.
74-76: menjelaskan tentang anggapan yang ada di masyarakat tentang seoarang
sindhen. Yang pertama, predikat jelek suka nomplok.
Kedua, menjadi bahan pembicaraan seorang sindhen kondhang karena pakai susuk.
Ketiga, pesindhen harus kuat iman.
12. Hal.
102-103: tradisi orang jawa yang dilakukan saat bulan sura.
13. Hal.
164-166: orang jawa mempunyai kebiasaan untuk mengartikan mimpi.
14. Hal.
220: tradisi orang jawa disaat menggendong anaknya pasti sambil dinyanyikan
atau ditembangkan.